Rasullulloh SAW Bersabda: "Berpuasalah Kalian! Niscaya Kalian Akan Sehat"

Monday, August 3, 2009

Makna Hakiki Dari Jihad

PII : Pelajar Islam Indonesia
Rubrik : Dunia Islam
Memahami Makna Jihad
0000-00-00 00:00:00 - by : ali
Pendahuluan
Pada masa lalu, kekuatan jihad telah terbukti mampu menegakkan peradaban Islam yang agung, yang memberikan keamanan dan kesejahteraan bagi segenap manusia. Dan dari peradaban yang agung itu pula terpancar kemuliaan Islam dan kewibawaan kaum Muslim. Dengan jihad, Islam menjelma menjadi sebuah sosok kekuatan yang tiada tanding. Kekuatan tersebut belum ada tandingannya dalam sejarah umat manusia kapanpun. Mercusuar Islam ini telah terbukti mampu membangun hegemoni politik dan budaya yang sangat luas dan jauh lebih besar dibandingkan dengan yang pernah dicapai bangsa-bangsa Eropa.
Diktator Jerman, Adolf Hitler, dengan pasukan Nazi-nya yang ditakuti dalam perang dunia II hanya pernah “melamun” untuk membuat bangsa Jerman, sebagai bangsa Aria yang dianggapnya memiliki ras unggul, sebagai bangsa penguasa Eropa. Demikian juga, Inggris, Belanda, Perancis dan negara-negara imperialis kolonialis lainnya pernah memiliki daerah koloninya di wilayah-wilayah tertentu, di Asia dan Amerika Latin. Tetapi, selain terbilang “relatif kecil” --yaitu hanya terdiri dari beberapa negara yang terpisah-pisah-- wilayah kekuasaan bangsa-bangsa tersebut didapatkan atas paradigma kerakusan ekonomi dan kekuasaan dengan metode penjajahan, kolonialisasi dan penaklukkan.

Kaum Muslim di pihak lain, pernah memiliki suatu daerah kekuasaan yang sangat luas membentang dari Iran di Timur sampai Spanyol di Barat, dan dari Ethiopia di Selatan sampai Turki di Utara. Wilayah ini meng-cover tiga wilayah benua sekaligus: Asia, Afrika dan Eropa. Berbeda dengan motif-motif ekonomi dan nafsu kekuasaan yang menjadi ruh kolonialisasi oleh negara-negara Eropa, perluasan wilayah Islam digerakkan oleh semangat keimanan di mana umat Islam menyebarkan agama baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.
Di sisi lain, umat Islam memiliki interpretasi yang beragam terkait dengan makna jihad. Di sinilah –dalam tulisan ini, selain pembahasan hadits jihad al-Nafs dan pendapat al-Ghazali terkait hal ini- pentingnya memahami kembali makna dari istilah jihad agar jangan keluar dari pakem-nya. Pembahasan bahasa (istilah) ini menjadi penting, karena bahasa merupakan sekumpulan kata atau kalimat yang mengisyaratkan makna tertentu. Maka, bisaanya manusia menyebut sesuatu dengan suatu kata/istilah untuk menunjukkan makna tertentu. Akan tetapi, tidak selamanya suatu kata/istilah secara pasti menunjukkan makna hakiki dari sesuatu yang dimaksud. Sebab, kata/istilah tersebut tidak jarang hanya megungkapkan apa yang ada di dalam benak penuturnya, bukan menggambarkan realitas yang ditunjukkannya. Di sinilah sebetulnya pentingnya setiap orang memahami kata/istilah hingga ia mengetahui kesesuaian maknanya dengan realitas yang ditunjukkannya ataukah tidak. Apalagi, Islam sendiri telah melarang umatnya menyalahgunakan atau mendistorsikan istilah, yaitu memberikan makna yang tidak sesuai dengan maksud sebenarnya. Allah Swt berfirman:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan yang demikiran itu disebabkan karena mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba. (QS al-Baqarah [2]: 275).1

Posisi Bahasa Arab dan as-Sunnah dalam Memahami Nash
Sesungguhnya dalam metode ushul fiqh, pemaknaan nash-nash syariat (al-Qur’an dan as-Sunnah) dalam pemahaman atas teks-teks dan istilah-istilah al-Qur’an dan as-Sunnah tidak dapat dilepaskan dari dua faktor, yaitu: (1) kenyataan bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah adalah kitab berbahasa Arab; dan (2) bahwa as-Sunnah adalah penjelas (bayan) dari al-Qur’an.2
Mengenai faktor yang pertama, sudah sangat jelas, bahwa kenyataan al-Qur’an memang berbahasa Arab. Di samping itu, al-Qur’an telah memberikan kabar kepada kita mengenai hal ini. Allah Swt berfirman:
إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Sesungguhnya Kami menjadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya. (QS az-Zukhruf [43]: 3).
Dengan demikian, metode memahami nash (teks istilah dalam al-Qur’an dan as-Sunnah) haruslah berpijak pada pemahaman bahasa Arab, bukan yang lain. Tanpa pengetahuan atas bahasa Arab mustahil kita dapat memahami makna yang dimaksudkan dalam nash tersebut.3
Adapun cakupan al-Qur’an terhadap kata-kata yang diambil dari bahasa lain, maka kata-kata tersebut telah mengalami proses arabisasi (mu’arrabah), sehingga menjadi bahasa Arab. Sebelum turunnya al-Qur’an, orang-orang Arab sudah terbisaa menggunakan kata-kata yang berasal dari luar mereka; kemudian mereka mengubahnya sesuai aturan bahasa mereka dan huruf-hurufnya. Sehingga, kata-kata yang telah diarabisasi tersebut menjadi bahasa Arab seperti yang mereka ciptakan sendiri, tidak ada perbedaan sedikitpun. Para penyair, sebelum turunnya al-Qur’an, sudah terbiasa menggunakan lafadz-lafadz mu’arrab (lafadz yang diambil dari bahasa lain kemudian diubah sesuai dengan aturan bahasa Arab). Contohnya adalah kata-kata: Fulfulun yang diambil dari khazanah bahasa Yuanai, yakni fulful; Qirthaasin yang diambil dari khazanah bahasa Yuanai, yakni Kuartees; Dirham yang diambil dari khazanah bahasa Yuanai, yakni drakhmee (mata uang Yunani); Jamanah yang diambil dari khazanah bahasa Latin, yakni gemona (permata); Arjuwan yang diambil dari khazanah bahasa Akadia, yakni arjuwan yang berarti ‘amaru dalam bahasa Arab.
Perlu dipahami, bahwa proses arabisasi harus dibatasi hanya pada nama-nama benda yang terindera saja. Sedangkan lafadz-lafadz yang menunjukkan pada makna-makna, maka bangsa Arab telah membuat al-isytiqaq (yaitu pengambilan suatu kata disebut kata musytaq yang berasal dari kata asalnya). Berkaitan dengan pengkhayalan (takhayyulat) dan penyerupaan (tasybihat), orang Arab membuat apa yang dinamakan majaz (yaitu menggunakan suatu kata yang bukan ditujukan untuk arti asalnya, karena adanya kesamaan antara dua arti asal dan arti baru, misalnya kata shiraath al-mustaqiim yang diartikan sebagai Islam).4
Adapun faktor kedua, bahwa as-Sunnah merupakan penjelasan dari al-Qur’an, berkaitan erat dengan fungsi Rasulullah Saw yang berkewajiban menjelaskan makna al-Qur’an kepada umat manusia. Dalam hal ini Allah Swt berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Kami menurunkan kepadamu (Muhammad) al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannya. (QS an-Nahl [16]: 44).
Fungsi Rasulullah Saw sebagai penjelas al-Qur’an ini terwujud5, misalnya, dalam perincian (bayan) ayat-ayat yang global (mujmal), pengecualian (takhsîsh) ayat-ayat yang umum (‘am), pemberian batasan (taqyîd) ayat-ayat yang mutlak, penambahan hukum yang hukum pokoknya ada dalam al-Qur’an, dan pensyariatan hukum baru yang hukum pokoknya tidak ada dalam al-Qur’an.
Atas dasar penjelasan di atas, proses pemahaman atas teks/istilah dalam al-Qur’an dan as-Sunnah haruslah didasarkan pada pandangan bahwa keduanya adalah berbahasa Arab dan pengaitan teks/istilah tersebut dengan penjelasan dan keterangan Nabi Muhammad saw dalam as-Sunnah. Karena itu, menggunakan metode penafsiran yang tidak bertolak dari kenyataan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai kitab yang berbahasa Arab berarti mengabaikan kenyataan yang sangat mendasar. Demikian pula setiap penafsiran kata atau istilah yang mengabaikan as-Sunnah; berarti mengabaikan kedudukan Muhammad sebagai penjelas dari apa yang diturunkan Allah.6
Memahami Makna Lughawi, ‘Urfi, dan Syar’i
Pada penjelasan sebelumnya, telah kita diskusikan bahwa ada dua prinsip yang berkaitan dengan pemaknaan teks-teks syariah, yaitu: (1) Al-Qur’an dan as-Sunnah menggunakan bahasa Arab; dan (2) As-Sunnah mempunyai otoritas menjelaskan pengertian kata atau istilah dari teks-teks wahyu. Berdasarkan dua prinsip ini, akhirnya kita memperoleh suatu metode ushul fiqh untuk memberi makna istilah-istilah dalam nash-nash syariat (al-Qur’an dan Hadits Nabi). Metode ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, Dalam bahasa Arab, makna hakiki didahulukan daripada makna majazinya. Dalam masalah pemaknaan kata atau istilah ini, aspek bahasa Arab yang berkaitan dengan istilah dapat ditinjau dari dua makna, yaitu makna hakiki (arti sebenarnya) dan makna majazi (arti kiasan). Kata asad, misalnya, makna hakikinya adalah singa. Akan tetapi, dalam makna majazinya, kata tersebut dapat berarti rajul syujâ‘ (lelaki yang gagah berani). Demikian pula kata bahr; makna hakikinya adalah laut. Akan tetapi, makna majazinya adalah ‘âlim (orang alim/berilmu) atau kuda yang gagah perkasa. Kaidah ushul yang berkaitan dengan hal ini adalah:
اَلأَصْلُ فِيْ اْلكَلاَمِ اْلحَقِيْقَةُ
Pada dasarnya ucapan itu harus diartikan lebih dahulu secara hakiki.
Namun, jika tidak memungkinkan diartikan secara hakiki atau jika ada indikasi (qarinah), barulah beralih ke pemaknaan secara majazi, agar nash syariat tidak tersia-siakan atau terabaikan; misalnya hubungan sababiyah (menyebut sebab tetapi yang dimaksud adalah akibat), musabbabiyah (menyebut akibat/musabab tetapi yang dimaksud adalah sebab), juz‘iyah (menyebut sebagian tetapi yang dimaksud adalah keseluruhan), kulliyah (menyebut keseluruhan tetapi yang dimaksud adalah sebagian), dan sebagainya.7 Kaidah ushul menyebutkan:
إِذَا تَعَذَرَتْ اْلحَقِيْقَةُ يُصَارُ إِلَى اْلمَجَازِ
Jika suatu kata tidak dapat diberi makna hakiki, maka dapat diartikan secara majazi.
Kedua, pemberian makna hakiki terhadap suatu istilah harus mengikuti urutan (tertib) sebagai berikut:
1. Makna hakiki syar‘î (makna syariat).
2. Makna hakiki ‘urfî (makna yang berhubungan dengan tradisi).
3. Makna hakiki lughawî (makna literal, harfiah).
Makna hakiki syar‘î (al-haqîqah al-lughawiyah asy-syar‘iyah) adalah makna hakiki (bukan majazi) yang telah dialihkan dari makna harfiah (bahasa)-nya. Sebab, nash-nash syariat telah memberikan tambahan makna yang lebih dari sekadar makna harfiah/bahasanya. Contohnya adalah kata shalat, shaum, zakat, haji, jihad, islam, iman, dan sebagainya.
Kata shalat secara harfiah, dalam kamus-kamus bahasa Arab, artinya adalah ad-du‘â’ (doa). Akan tetapi, nash-nash syariat (khususnya Hadits Nabi) telah menjelaskan tatacara shalat Nabi Saw, sehingga kita tidak dapat lagi mengartikan nash syariat yang menyebut shalat dengan arti harfiahnya, yakni doa. Sebab, kata tersebut sudah diberikan tambahan makna dari sekadar makna harfiahnya. Shalat secara syar‘î lalu diartikan sebagai suatu rangkaian perbuatan dan perkataan (doa) yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Kata shaum secara bahasa, sebagaimana terdapat dalam kamus-kamus bahasa Arab, artinya adalah al-imsâk (menahan diri). Akan tetapi, nash-nash syariat (al-Qur’an, khususnya dalam surat al-Baqarah [2]: 187) dan juga hadits-hadits Nabi Saw memberikan makna tambahan atas kata tersebut yaitu menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual, dan hal-hal yang membatalkan shaum dari subuh sampai malam (magrib) disertai dengan niat. Inilah makna syar‘î dari shaum.
Sementara itu, makna hakiki ‘urfî (al-haqîqah al-lughawiyah al-‘urfiyah) adalah makna hakiki (bukan majazi) yang telah menjadi ‘urf (konvensi, tradisi, kebisaaan) orang Arab. Atau sesuatu yang telah ditransfer oleh pakar bahasa yang biasa berargumentasi dengan bahasa mereka dari makna harfiah (lughawi) kepada makna lain yang telah masyhur. Contohnya adalah kata dâbbah.8 Secara harfiah, kata dâbbah berarti segala makhluk yang melata di muka bumi (termasuk hewan dan manusia). Akan tetapi, secara ‘urfî, orang Arab lalu menggunakan kata tersebut dengan makna hewan berkaki empat seperti unta; tidak termasuk manusia.
Adapun makna hakiki lughawî (al-haqîqah al-lughawiyah al-wadh‘iyah) adalah makna hakiki (bukan majazi) yang menunjuk pada arti asalnya secara harfiah/literal. Contohnya adalah kata rajul (lelaki), imra’ah (perempuan), asad (harimau), jamal (unta), sayf (pedang), dan sebagainya.
Berdasarkan uraian sebelumnya, urutan pemberian makna suatu teks/istilah dalam nash-nash syariat diawali dengan makna syar‘î, lalu makna ‘urfî, dan kemudian makna lughawi. Karena itu, jika kita membaca ayat atau hadits lalu mendapatkan kata tertentu semisal shalat, islam, jihad, dan seterusnya, hendaknya kita mengartikannya dalam makna syar‘î-nya lebih dulu; bukan makna harfiah/literalnya. Mengartikan kata-kata tersbut dalam makna harfiah/literalnya terlebih dulu dan mengesampingkan makna syar‘î-nya jelas tidak tepat. Contohnya adalah mengartikan kata jihad secara harfiah/literal sekadar “bersungguh-sungguh atau mengerahkan segenap kesanggupan,” tanpa menghubungkannya dengan banyak nash al-Qur’an dan as-Sunnah yang menunjukkan makna syar‘î-nya, yaitu mengerahkan segala kesanggupan dalam peperangan (qitâl) fi sabilillah; baik secara langsung atau dengan memberi pertolongan berupa bantuan harta, memperbanyak pasukan, dan sebagainya. Mengartikan jihad secara harfiah seperti di atas dengan mengesampingkan makna syar‘î-nya tanpa alasan apa pun jelas merupakan tindakan yang amat ceroboh yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dilihat dari kacamata metodologi ilmiah sekalipun.
Pandangan Kokoh Mengenai Makna Jihad
Dengan demikian, dapat kita ajukan satu kesimpulan bahwa pandangan yang kokoh terkait makna jihad adalah makna syariatnya, yaitu mengerahkan segala kesanggupan dalam peperangan (qitâl) fi sabilillah; baik secara langsung atau dengan memberi pertolongan berupa bantuan harta, memperbanyak pasukan, dan sebagainya.9 Untuk lebih jelasnya, berikut adalah penjelasan rincinya:
Pertama, secara bahasa, jihad berasal dari kata juhd (jerih payah), yang bermakna thâqah (kemampuan) dan matsaqah (kesukaran). Dari kata juhd juga dibentuk kata mujâhadah. Karena itu, secara bahasa jihâd/mujâhadah bermakna:
1. Mengerahkan kemampuan dan tenaga yang ada, baik dengan perkataan maupun perbuatan.10
2. Mengerahkan seluruh kemampuan untuk memperoleh tujuan.11
Di dalam al-Qur’an, jihad dalam makna bahasa ini terdapat, antara lain, dalam ayat-ayat berikut:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
Orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. (QS al-Ankabut [29]: 69).
فَلاَ تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
Berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur’an, dengan jihad yang besar. (QS al-Furqan [25]: 52).
Rasulullah Saw. juga bersabda:
أَفْضَلُ اْلجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Jihad yang paling utama adalah ucapan yang haq di hadapan penguasa yang lalim. (HR at-Tirmidzi).
الْحَجُّ جِهَادُ كُلِّ ضَعِيفٍ
Ibadah haji merupakan jihad bagi mereka yang lemah. (HR Ibn Majah dan Ahmad).
Aisyah ra. pernah bertanya kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah, apakah ada jihad bagi para wanita?” Beliau bersabda:
نَعَمْ, عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيهِ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
Ya, yaitu jihad yang tidak ada perang di dalamnya, yakni ibadah haji dan umrah. (HR Ibn Majah).
Rasul saw. juga pernah bersabda:
الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ
Yang bernama mujahid adalah mereka yang memerangi dirinya. (HR at-Tirmidzi).
Nash-nash di atas dan yang semisal, di dalamnya terdapat kata jihad dalam pengertian bahasa (lughawi). Makna bahasa yang terdapat di dalamnya adalah mujâhadah (perang) terhadap hawa nafsu, setan, dan kefasikan; keberanian menegur keras para penguasa dengan cara menyerunya dan melarangnya; serta kesungguhan dalam mengerahkan segenap kemampuan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban atau dalam menjaga taklif-taklif (beban) syariah.
Kedua, adapun dalam pengertian syar‘î (syariat), para ulama dan fuqaha mendefinisikan jihad sebagai:
1. Upaya mengerahkan segenap kemampuan dalam berperang di jalan Allah secara langsung, atau membantunya dengan harta, dengan (memberikan) pendapat/pandangan, dengan banyaknya orang maupun harta benda, ataupun yang semisalnya.12
2. Upaya mengerahkan segenap jerih payah dalam memerangi kaum kafir.13

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara syar‘i, jihad adalah qitaalu al-kuffari fii sabilillahi li i'lai kalimatillahi, yaitu memerangi orang-orang kafir di jalan Allah dalam rangka meninggikan kalimat Allah (Islam).14
Berikut ini kami akan ketengahkan kepada Anda istilah jihad (Perang) dalam nash yang shârih (tegas) dan ghayr sharih (samar):
1. Jihad dalam nash shârih (tegas).
Di dalam nash al-Qur’an maupun as-Sunnah jihad sering ditunjukkan secara tegas (shârih), dengan langsung menggunakan kata al-qitâl (perang). Allah Swt, antara lain, berfirman:
قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلآخِرِ
Perangilah orang-orang yang tidak mengimani Allah dan Hari Akhir. (QS at-Taubah [9]: 29).
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ ِللهِ
Perangilah mereka supaya jangan ada fitnah (kekufuran) dan agar agama itu semata-mata hanya milik Allah. (QS al-Anfal [8]: 39).
Rasul Saw juga pernah bersabda:
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ
Siapa saja yang berperang dengan tujuan menjadikan kalimat Allah menjadi yang paling tinggi, maka ia berada di jalan Allah. (HR al-Bukhari).
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan Lâ Ilâha illa Allâh Muhammad Rasûlullâh (Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah). (HR al-Bukhari dan Muslim).
2. Jihad (perang) dalam nash ghayr shârih (samar).
Jihad dalam makna al-qitâl (perang) ini juga sering ditunjukkan dalam makna yang samar (ghayr shârih), yang lebih banyak ditunjukkan oleh adanya indikasi (qarînah) yang menunjukkan pada makna al-qitâl (perang) dimaksud.
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللهِ
Orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah. (QS al-Baqarah [2]: 218).
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ....
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah…. (QS al-Anfal [8]: 72).
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahanam. Itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya. (QS at-Taubah [9]: 73).
Meskipun nash-nash di atas dan yang serupa dengannya dalam bentuk yang samar, semua nash tersebut memiliki qarînah (indikasi) yang menunjukkan pada makna jihad secara syar‘i, yakni al-qitâl (perang). Frasa dalam ayat-ayat di atas seperti fî sabîlillâh (di jalan Allah), jâhadû wa hâjarû (berjihad dan berhijrah), waghluzh 'alayhim (bersikap keraslah terhadap mereka [orang-orang kafir]), bi amwâlihim wa anfusihim (dengan harta-harta dan jiwa-jiwa mereka), semua itu merupakan indikasi (qarînah) yang menunjukkan bahwa kata jihad di dalam ayat-ayat tersebut adalah jihad secara syar‘i, yakni memerangi kaum kafir.
Demikian pula halnya dengan sabda-sabda Rasulullah Saw. Rasul Saw, misalnya, bersabda:
وَاْلجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِىَ اللهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَتِى الدَّجَّالَ
Jihad itu tetap berlangsung sejak aku diutus oleh Allah hingga umatku yang terakhir membunuh dajjal. (HR Ibn Manshur al-Khurasani, Kitâb as-Sunan, II/176).
الْجِهَادُ مَاضٍ مَعَ الْبَرِّ وَالْفَاجِرِ
Jihad itu tetap berlangsung baik bersama (pemimpin) yang salih maupun yang fajir. (HR al-Bukhari).
Dalam hadits di atas, frasa hingga umatku yang terakhir membunuh dajjal, misalnya, merupakan qarînah bahwa yang dimaksud dengan jihad di sini adalah makna syar‘i, yakni memerangi orang-orang kafir. Begitu juga frasa baik bersama (pemimpin) yang salih maupun yang fajir; merupakan qarînah bahwa jihad dalam hadits di atas bermakna perang, seperti pada nash sebelumnya.
Di dalam al-Qur’an, jihad dalam pengertian perang ini terdiri dari 24 kata.15 Kewajiban jihad (perang) ini telah ditetapkan oleh Allah Swt dalam al-Qur’an di dalam banyak ayatnya.16 Bahkan jihad (perang) di jalan Allah merupakan amalan utama dan agung yang pelakunya akan meraih surga dan kenikmatan yang abadi di akhirat.17 Sebaliknya, Allah telah mencela dan mengancam orang-orang yang enggan berjihad (berperang) di jalan Allah.18


Menelaah Hadits Jihad al-Nafs
الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ
Orang yang berjihad adalah orang yang memerangi hawa nafsunya (HR Ahmad, Turmudzi, al-Hakim dan al-Baihaqi).
1. Sanad hadits
Imam at-Tirmidzi dalam Sunan at-Tirmidzi menerima hadits ini berturut-turut dari Ahmad bin Muhammad, dari Abdullah bin al-Mubarak, dari Haywah bin Syuraih dari Abu Hani’ al-Khawlani, dari Amr bin Malik al-Janbi, dari Fudhalah bin ‘Ubayd. Imam at-Tirmidzi menyatakan, hadits Fudhalah adalah hadits hasan sahih.19
Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad mengeluarkan hadits di atas melalui tiga sanad. Pertama: dari Ali bin Ishaq, dari Abdullah, dari Laits dari Abu Hani’ al-Khawlani, dari Amr bin Malik al-Janbiy dari Fudhalah bin Ubayd. Kedua: dari Qutaybah bin Said, dari Risydi bin Saad, dari Humaid Abu Hani’ al-Khawlani, dari Amr bin Malik, dari Fudhalah bin Ubayd. Dalam kedua sanad ini ada tambahan fî thâ’atillâh (dalam ketaatan kepada Allah). Ketiga: dari Ali bin Ishaq, dari Abdullah, dari Laits, dari Abu Hani’ al-Khawlani, dari Amr bin Malik al-Janbi, dari Fudhalah bin Ubayd.20
Dalam al-Mustadrak, Al-Hakim menerimanya dari Abdurrahman bin al-Hasan bin Ahmad al-Qadhi, dari Ibrahim bin al-Husain, dari Said bin Abi Maryam dan Abdullah bin Shalih keduanya, dari Abu Hani’ al-Khawlani, dari Amr bin Malik dari Fudhalah bin Ubayd.21
Al-Baihaqi mengeluarkannya dalam Sa‘b al-Îmân dari Abu Abdillah Muhammad bin al-Fadhl bin Nazhif al-Fara’ di Makkah, dari Abu al-‘Abbas Ahmad bin al-Hasan bin Ishaq ar-Razi, dari Yusuf bin Yazid bin Kamil, dari Abdullah bin Shalih, dari Laits bin Saad, dari Abu Hani’ al-Khawlani, dari Amr bin Malik al-Janbi, dari Fudhalah bin Ubayd. Rasul mengucapkan hadits ini saat menunaikan haji wada’.22
2. Makna
Hadits ini menjelaskan bahwa jihâd al-nafs itu disyariatkan dan dituntut oleh syariat. Menurut para ulama, perkara ini adalah fardhu. Seorang pun tidak dibenarkan mengingkari jihâd al-nafs. Karena mengingkari hal ini –jihad al-nafs- berarti telah mengingkari hadits shahih yang selayaknya menjadi amalan kaum Muslim.
Kesalahpahaman mulai muncul ketika ada persepsi dari sebagian orang bahwa jihâd al-nafs merupakan jihad akbar dan jihad (perang) fi sabilillah adalah jihad kecil. Lalu hal itu dimaknai secara dikotomis bahwa kaum Muslim harus lebih mengutamakan jihâd al-nafs dan mengabaikan jihad (perang) di jalan Allah. Persepsi demikian adalah salah, di antaranya karena hadits yang dijadikan sandaran secara riwayat adalah dhâ‘îf,23 yaitu sabda Rasul saw:
رَجَعْنَا مِنَ اْلجِهَادِ اْلأَصْغَرِ إِلىَ اْلجِهَادِ اْلأَكْبَرِ. قَالُوْا:
وَمَا اْلجِهَادُ اْلأَكْبَرُ؟ قَالَ: جِهَادُ النَّفْسِ
"Kita baru kembali dari jihad kecil menuju jihad besar." Para sahabat bertanya, "Apakah jihad besar itu." Rasul menjawab, "Jihad melawan hawa nafsu." 24
Karenanya, jihâd al-nafs harus kita pahami secara benar. Kata jihad di sini menggunakan makna bahasanya, yaitu mengerahkan segenap kemampuan untuk menundukkan hawa nafsu dalam menjalankan ketaatan dan menjauhi larangan. Inilah pemaknaan jihad secara lughawi sebagaimana telah diulas pada bagian sebelumnya.
Lebih jauh, Ibn Hajar al-Atsqalani dalam Fath al-Bârî mengutip ucapan Ibn Bathal bahwa jihâd al-nafs itu terjadi dengan menghalangi diri dari melakukan kemaksiatan, mencegahnya dari berbagai syubhat dan dari memperbanyak kesenangan yang mubah untuk lebih mengedepankan visi akhirat.25
Menurut para imam, jihâd al-nafs adalah dengan membawa nafs untuk mengikuti perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Jika seorang hamba kuat melakukannya, maka mudah baginya untuk berjihad memerangi musuh agama.
Jihâd al-nafs ada empat tingkat: menundukkan hawa nafsu untuk mempelajari ketentuan agama, lalu menundukkannya untuk beramal sesuai dengan ketentuan agama itu, kemudian menundukkannya untuk mengajarkan ketentuan agama itu kepada orang yang belum tahu, dan selanjutnya menyerukan pengesaan Allah serta memerangi orang yang menyalahi agama-Nya dan mengingkari nikmat-nikmat-Nya.
Dengan demikian, kesimpulan yang dapat kita petik berkaitan dengan jihâd al-nafs itu: Pertama, yang asasi adalah melaksanakan berbagai kewajiban dan meninggalkan keharaman; ditambah dengan melakukan amalan sunnah dan meninggalkan perkara makruh. Kedua, hawa nafsu cenderung pada syahwat (kesenangan) yang sering adalah haram; dan tidak suka melaksanakan kewajiban (ketaatan) yang mengandung kesukaran. Jihâd al-nafs adalah dengan memaksa nafsu untuk melaksanakan kewajiban, menghalanginya dari melakukan keharaman, dan menundukkannya pada hukum-hukum Allah. Ketiga, mengurangi melakukan kesenangan meski mubah dan menjauhi hal yang kurang bermanfaat untuk lebih banyak melaksanakan kewajiban dan amalan sunnah. Artinya, orang yang benar dalam melakukan jihâd al-nafs justru akan menjelma menjadi orang yang taat, giat, bersemangat, dan sungguh-sungguh melakukan berbagai kewajiban termasuk jihad fi sabilillah dan berjuang menegakkan syariah. Orang yang berpaling dari kewajiban dan “berlindung“ dibalik jihad al-nafs, hakikatnya adalah orang terpalingkan dari kebenaran dan hanya berpura-pura melakukan jihâd al-nafs.
Jihad al-Nafs dalam Kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din Karya al-Ghazali
Al-Ghazali (450/1058-505/1111) adalah pemikir besar pada zamannya. Ia banyak menulis buku tentang, aqidah, fiqih, uhsul fiqih, kalam, filsafat, dan sufisme.26 Membincangkan pemikiran al-Ghazali sangat menarik mengingat ada hal yang seakan “ganjil” dalam pemikirannya pada suatu kesempatan. Al-Ghazali dalam hidupnya sempat mengalami peristiwa besar dalam sejarah umat Islam, yakni perang Salib (crusade). Namun dalam karya agungnya, Ihya’ ‘Ulum al-Din, ia tidak menulis satu bab pun tentang jihad. Sebaliknya, dalam kitabnya itu, ia menekankan pentingnya apa yang dinamakan dengan jihad al-nafs. Agar bisa menelaah pemikiran al-Ghazali lebih dekat, ada baiknya kita membedahnya dari berbagai segi:
1. “Krisis” al-Ghazali dan Sufisme
Tidak sedikit kalangan yang mengajukan kritik, atau paling tidak, pertanyaan kepada al-Ghazali atas sikapnya yang tidak memainkan peran penting dalam jihad melawan pasukan Salib. Padahal, semasa hidupnya, al-Ghazali sempat mengunjungi tempat-tempat yang diduduki oleh pasukan Salib. Sebut saja Abdu al-Rahman Dimashqiyyah, menyalahkan sufisme al-Ghazali.27 Dan tentu kita pun layak untuk bertanya, mengapa al-Ghazali mengambil sikap seperti itu?28
Alasan yang sering dimunculkan oleh sebagian kalangan intelektual Muslim untuk memberikan alasan terhadap pertanyaan di atas adalah bahwa al-Ghazali menulis Ihya’ pada masa yang disebut dengan ‘masa krisis’ (critical period) al-Ghazali. Lebih lanjut, Abu-Sway menyebutkan, bahwa al-Ghazali menulis 28 buku pada ‘masa krisis’-nya itu.29
Namun, dengan kenyataan itu yakni produktivitas al-Ghazali, sangat kecil kemungkinan jika al-Ghazali melakukan praktik monatitisme (rahbaniyyah) sebagaimana anggapan Abu-Sway. Buktinya, al-Ghazali tidak meninggalkan kehidupan publiknya, maupun tidak mengabaikan tanggungjawab keluarganya; yang dilakukan al-Ghazali hanya meninggalkan posisinya yang tinggal di Baghdad untuk melakukan perjalanan dan misi penting.30 Adapun dalam kitab Ihya’, al-Ghazali justru terlihat ingin melakukan reformasi intelektual dan moral kaum Muslim kala itu.
1. Jihad al-nafs dalam ihya’ ‘ulum al-din
Sebagaimana diketahui, dalam kitab ihya’, al-Ghazali menekankan pentingnya jihad al-nafs. Dalam bab al-Amr bi al-Ma’ruf wa an-Nahyu ’an al-Munkar, al-Ghazali menyebutkan beberapa hadits Nabi dan atsar tentang pentingnya jihad melawan diri sendiri (nafs). Hadits tersebut ada yang sahih namun ada juga yang dianggap dha’if oleh para pakar hadits.31
1. Al-Ghazali dan pengaruh pemikiran mazhab Syafi’i
Sebagai tokoh dalam mazhab Syafi’i, al-Ghazali pasti memahami kewajiban jihad (qital) melawan kaum kafir. Dalam pandangan mazhab syafi’i, jihad adalah fardu kifayah, bahkan menjadi fardu ‘ain jika musuh sudah memasuki wilayah kaum Muslim.32
Bahkan, al-Ghazali telah menulis buku yang di dalamnya memuat seruan dan aturan dalam jihad (qital). Al-Ghazali, misalnya, mencatat bahwa makna jihad adalah perang. Dalam karyanya al-Wasit fi al-Madhahib, ia menyebutkan satu bab “Kitab Qism al-Fay wa al-Ghana’im” dan “Kitab al-jinayat al-Mujibah li al-‘Uqubat”. Juga dalam karyanya yang lain, Kitab al-Wajiz fi Fiqh Madhhab al-Imam as-Syafi’iy. Dalam karyanya itu, al-Ghazali menjelaskan tentang makna jihad sebagai qital. Bahkan lebih lanjut, dalam kitab al-Wajiz, terdapat penjelasan tentang al-fay dan ghana’im.33
Dalam sebuah catatan Syeikh Ali al-Sulami, yang diringkas oleh Niall Christie, mengutip ucapan Imam al-Syafi’i dan al-Ghazali tentang Jihad. Dalam catatan itu semakin jelas bahwa al-Ghazali menekankan pentingnya perang melawan pasukan Salib yang saat ini sudah menguasai Jerusalem dan sebagian wilayah Syiria. Diantaranya al-Ghazali menyatakan: “Jihad adalah fardu kifayah. Jika satu kelompok yang berjuang melawan musuh sudah mencukupi, maka mereka dapat berjuang keras melawan musuh. Tetapi jika kelompok itu lemah dan tidak memadai untuk menghadapi musuh dan menghapuskan kejahatannya, maka kewajiban jihad itu dibebankan kepada negara terdekat, seperti Syiria.”34 Sehingga, menjadi semakin tergambar bagaimana sikap al-Ghazali dalam konteks perang Salib.
1. Ta’wilu mukhtalifil ra’y
Dengan berbagai kenyataan di atas, tampak ada semacam kesan tersembunyi yang hendak disampaikan oleh al-Ghazali. Menurut hemat penulis, al-Ghazali sama sekali tidak dalam rangka meremehkan qital (perang). Inilah pentingnya bagi kita untuk menelaah sejarah dan keadaan sosiopolitik di mana al-Ghazali hidup di dalamnya. Dalam rangka jihad melawan pasukan Salib, sebagaimana yang diungkapkan Ali al-Sulami, al-Ghazali ingin melakukan “reformasi moral” untuk membangun kembali kekuatan spiritual yang nyaris lenyap akibat dominasi pasukan Salib. Pada konteks inilah kaum Muslim harus memahami hakikat dirinya sendiri, yang telah banyak melakukan kealpaan, sehingga dengan kealpaan itu dominasi pasukan Salib kian mencekik. Baru setelah itu, kaum Muslim dapat bangkit dan mampu untuk mengalahkan pasukan Salib. Kekuatan spiritual inilah yang kelihatannya ingin mendapatkan sorotan penting dalam pandangan al-Ghazali; yang tanpanya, peperangan menjadi sangat hampa. Karenanya, dalam kitab Ihya’, secara eksplisit al-Ghazali mempatkan jihad melawan hawa nafsu dan melawan kejahatan, di atas jihad melawan musuh. Kompatibel dengan itu, 50 tahun kemudian, di masa Nur al-Din Zengi, kaum Muslim mampu melakukan jihad yang efektif. Wallahu A’lam.
Penutup
Jelaslah, bahwa Jihad adalah perintah agama, yang berarti perang (qital) melawan orang kafir untuk meninggikan kalimat Allah Swt. Siapapun yang mengaku Muslim tidak boleh menyepelekan perkara jihad. Jihad-lah yang membawa risalah Islam di masa Rasul Saw tersebar hingga seluruh jazirah Arab hanya dalam tempo 10 tahun. Jihad pula yang mengantarkan umat Islam meraih kejayaannya selama lebih dari 1000 tahun lamanya. Jihad dalam arti qital dengan jihad al-nafs tidak perlu dipertentangkan satu sama lain. Keduanya memiliki proporsi yang tepat dalam al-Din al-Islam. Dengan kalimat lain, The concept of the spiritual struggle was well developed by the time of the Crusade and any discussion of jihad in this period should always take into account the spiritual dimension without which the military struggle is rendered hollow and without foundation. Nur al-Din conducts a double jihad against enemy and against his own soul.35 Dalam makna bahasanya, kita diperintahkan agar mampu menguasai diri kita sendiri dalam ketundukan kepada Allah; agar mampu bergegas melaksanakan kewajiban dan menjauhi dari apa yang dilarang. Dalam makna syar’i-nya, kaum Muslim telah diwajibkan untuk memerangi kaum kafir agar kemuliaan hanya milik Allah Swt semata, dan inilah makna syar‘î (al-haqîqah al-lughawiyah asy-syar‘iyah) yang harus dikedepankan.
Allahul Haadiy wal Muwaffiq ila Aqwaamith Thaariq.
oleh: Fauzan ibn Hidayah al-Julaniy
PII : Pelajar Islam Indonesia : http://pelajar-islam.or.id
Versi Online : http://pelajar-islam.or.id/?pilih=news&aksi=lihat&id=4

No comments:

Post a Comment